Berdasarkan Undang-undang RI No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
menyebutkan bahwa SLB adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak tuna atau cacat.
Sama halnya yang tercantum dalam peraturan pemerintah pemerintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 1991 tentang pendidikan luar biasa, menjelaskan bahwa pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
Selain itu, pengertian SLB dalam buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus karangan Profesor Pendidikan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus Universitas Negeri Yogyakarta, Suparno, menyebutkan bahwa SLB adalah bentuk pendidikan bagi siswa yang kesulitan mengikuti proses pembelajaran karena gangguan fisik, emosional, mental sosial, tetapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Jadi, kesimpulannya setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak termasuk penyandang disabilitas yang dapat bersekolah yaitu di SLB berdasarkan kesulitan yang mereka alami.
Di Kota Probolinggo, ada Sekolah Luar Biasa (SLB PGRI ) yang beralamat di Jalan semangka no. 2, kelurahan Kedunggaleng, kecamatan Wonoasih, kota Probolinggo di bawah naungan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI (YPLP PGRI)
dengan jumlah siswa 41 anak, terdiri dari golongan B = 8, C= 29 dan D = 4
dengan jumlah tenaga pendidik sebanyak 5 orang
dan tenaga kependidikan sebanyak 2 orang,
mereka berkutat dengan kurikulum merdeka untuk sebisa mungkin mengetrapkan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), kepada peserta didik, dengan kesabaran ketelatenan diatas rata-rata dan terlihat mulia sekali.
SLB PGRI Wonoasih kota Probolinggo, dibawah pimpinan Triana Ardiani, S.Pd selaku Kepala sekolah,memberikan prioritas pendidikan karakter paling mendasar dan hakiki bagi umat manusia, yaitu kejujuran.
Para siswa di ajari tentang kejujuran melalui praktek perilaku jujur melalui program Kantin Kejujuran, dengan konsep sederhana, dimana kantin menyediakan bermacam-macam makanan sehat, dilengkapi dengan uang untuk kembalian, tanpa ada yang menjaganya. Para siswa dipersilahkan mengambil sendiri makanan yang tersedia dengan mengganti uang seharga makanan yang diambilnya.
Akan tetapi secara periodik kantin tersebut diperiksa oleh guru atau petugas yg ditunjuk.
Sama halnya yang tercantum dalam peraturan pemerintah pemerintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 1991 tentang pendidikan luar biasa, menjelaskan bahwa pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
Selain itu, pengertian SLB dalam buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus karangan Profesor Pendidikan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus Universitas Negeri Yogyakarta, Suparno, menyebutkan bahwa SLB adalah bentuk pendidikan bagi siswa yang kesulitan mengikuti proses pembelajaran karena gangguan fisik, emosional, mental sosial, tetapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Jadi, kesimpulannya setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak termasuk penyandang disabilitas yang dapat bersekolah yaitu di SLB berdasarkan kesulitan yang mereka alami.
Di Kota Probolinggo, ada Sekolah Luar Biasa (SLB PGRI ) yang beralamat di Jalan semangka no. 2, kelurahan Kedunggaleng, kecamatan Wonoasih, kota Probolinggo di bawah naungan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI (YPLP PGRI)
dengan jumlah siswa 41 anak, terdiri dari golongan B = 8, C= 29 dan D = 4
dengan jumlah tenaga pendidik sebanyak 5 orang
dan tenaga kependidikan sebanyak 2 orang,
mereka berkutat dengan kurikulum merdeka untuk sebisa mungkin mengetrapkan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), kepada peserta didik, dengan kesabaran ketelatenan diatas rata-rata dan terlihat mulia sekali.
SLB PGRI Wonoasih kota Probolinggo, dibawah pimpinan Triana Ardiani, S.Pd selaku Kepala sekolah,memberikan prioritas pendidikan karakter paling mendasar dan hakiki bagi umat manusia, yaitu kejujuran.
Para siswa di ajari tentang kejujuran melalui praktek perilaku jujur melalui program Kantin Kejujuran, dengan konsep sederhana, dimana kantin menyediakan bermacam-macam makanan sehat, dilengkapi dengan uang untuk kembalian, tanpa ada yang menjaganya. Para siswa dipersilahkan mengambil sendiri makanan yang tersedia dengan mengganti uang seharga makanan yang diambilnya.
Akan tetapi secara periodik kantin tersebut diperiksa oleh guru atau petugas yg ditunjuk.
Hal itu merupakan pembiasaan yang luar biasa, merupakan pendidikan yang sangat tepat, dengan segala bentuk kekurangan, sebagai anak yang masuk kategori berkebutuhan khusus, tapi berberilaku mulia, yaitu jujur dan amanah, sebagaimana gelar Nabi Muhammad SAW, karena kejujurannya di juluki Al Amin.
Sebagaimana diketahui dalam Pendidikan, siswa berkebutuhan khusus digolongkan menjadi 7 ( tujuh ) meliputi :
Golongan A (Tunanetra)
Golongan A merupakan SLB yang diperuntukan bagi peserta didik tunanetra atau yang memiliki kelemahan dalam penglihatan atau akurasi penglihatannya kurang dari 6/60.
Golongan B (Tunarungu)
Bagi anak atau peserta didik yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang bervariasi atau istilah medisnya disebut dengan tunarungu, dapat bersekolah di SLB Golongan B.
Golongan C (Tunagrahita)
SLB Golongan C diperuntukkan bagi peserta tunagrahita atau bagi peserta didik dengan keadaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Kondisi ini ini dapat terjadi saat anak berusia sebelum 18 tahun yang ditandai dengan lemahnya kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya di bawah 70) dan sulit beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari.
Golongan D (Tunadaksa)
Untuk anak dengan tunadaksa, jenis SLB Golongan D merupakan sekolah yang tepat bagi mereka yang mengalami cacat tubuh, bentuk anggota tubuh dan tulang belakang tidak normal, kemampuan gerak sendi terbatas, atau adanya hambatan lain dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari hari.
Golongan E (Tunalaras)
Keadaan anak yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi atau kontrol sosial dapat bersekolah di SLB Golongan E. Anak yang mengalami kondisi ini juga disebut sebagai anak tunalaras (tunasosial).
Mereka menunjukkan satu atau lebih pola perilaku, seperti:
• kesulitan dalam belajar yang bukan disebabkan oleh faktor kecerdasan, faktor indera sensorik, atau faktor kesehatan;
• kesulitan dalam berinteraksi dengan teman-teman dan guru;
• perilaku atau emosi yang tidak sesuai dengan situasi.
Golongan F (Tunawicara)
Selanjutnya bagi peserta didik yang mengalami kesulitan berbicara atau tunawicara, dapat bersekolah di SLB Golongan F. Biasanya anak dengan tunawicara juga mengalami kesulitan untuk mendengar atau tunarungu dimana fungsi pendengarannya juga tidak dapat berfungsi.
Golongan G (Tunaganda)
Sekolah Luar Biasa (SLB) golongan G adalah lembaga pendidikan yang khusus dirancang untuk siswa dengan kombinasi kelainan tertentu. Siswa penyandang tunaganda seringkali mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, bahkan ada yang sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
Dari ketujuh jenis SLB yang dijelaskan, ada lagi beberapa jenis SLB lain yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan atau kelemahan bagi penyandang disabilitas.
Tujuan dengan adanya SLB adalah agar anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapatkan perlakuan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dari kekurangan mereka tersebut. Sehingga mereka dapat melakukan aktivitas sehari-harinya secara mandiri dan memiliki keahlian untuk kehidupannya.(dilansir dari pmpk.kemdikbud.go.id).
(*dikpoer&Tim)
Sebagaimana diketahui dalam Pendidikan, siswa berkebutuhan khusus digolongkan menjadi 7 ( tujuh ) meliputi :
Golongan A (Tunanetra)
Golongan A merupakan SLB yang diperuntukan bagi peserta didik tunanetra atau yang memiliki kelemahan dalam penglihatan atau akurasi penglihatannya kurang dari 6/60.
Golongan B (Tunarungu)
Bagi anak atau peserta didik yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang bervariasi atau istilah medisnya disebut dengan tunarungu, dapat bersekolah di SLB Golongan B.
Golongan C (Tunagrahita)
SLB Golongan C diperuntukkan bagi peserta tunagrahita atau bagi peserta didik dengan keadaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Kondisi ini ini dapat terjadi saat anak berusia sebelum 18 tahun yang ditandai dengan lemahnya kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya di bawah 70) dan sulit beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari.
Golongan D (Tunadaksa)
Untuk anak dengan tunadaksa, jenis SLB Golongan D merupakan sekolah yang tepat bagi mereka yang mengalami cacat tubuh, bentuk anggota tubuh dan tulang belakang tidak normal, kemampuan gerak sendi terbatas, atau adanya hambatan lain dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari hari.
Golongan E (Tunalaras)
Keadaan anak yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi atau kontrol sosial dapat bersekolah di SLB Golongan E. Anak yang mengalami kondisi ini juga disebut sebagai anak tunalaras (tunasosial).
Mereka menunjukkan satu atau lebih pola perilaku, seperti:
• kesulitan dalam belajar yang bukan disebabkan oleh faktor kecerdasan, faktor indera sensorik, atau faktor kesehatan;
• kesulitan dalam berinteraksi dengan teman-teman dan guru;
• perilaku atau emosi yang tidak sesuai dengan situasi.
Golongan F (Tunawicara)
Selanjutnya bagi peserta didik yang mengalami kesulitan berbicara atau tunawicara, dapat bersekolah di SLB Golongan F. Biasanya anak dengan tunawicara juga mengalami kesulitan untuk mendengar atau tunarungu dimana fungsi pendengarannya juga tidak dapat berfungsi.
Golongan G (Tunaganda)
Sekolah Luar Biasa (SLB) golongan G adalah lembaga pendidikan yang khusus dirancang untuk siswa dengan kombinasi kelainan tertentu. Siswa penyandang tunaganda seringkali mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, bahkan ada yang sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
Dari ketujuh jenis SLB yang dijelaskan, ada lagi beberapa jenis SLB lain yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan atau kelemahan bagi penyandang disabilitas.
Tujuan dengan adanya SLB adalah agar anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapatkan perlakuan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dari kekurangan mereka tersebut. Sehingga mereka dapat melakukan aktivitas sehari-harinya secara mandiri dan memiliki keahlian untuk kehidupannya.(dilansir dari pmpk.kemdikbud.go.id).
(*dikpoer&Tim)